• Breaking News

    Advertisement

    loading...
    OPINI


    RAMAI ISU RESHUFFLE, 2 MENTERI INI LAYAK DICOPOT JOKOWI


    OLEH : HAIDAR ALWI INSTITUTE

    Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan akan segera melakukan perombakan (reshuffle) sejumlah menteri dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024.

    Isu ini mencuat setelah Presiden Joko Widodo melaksanakan pertemuan dengan sebagian pendukungnya dari kalangan influencer, artis dan pegiat medsos di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (18/2/2020).

    Salah satu peserta, Dede Budhyarto mengungkapkan bahwa Presiden Jokowi ingin bertukar pikiran dengan para pendukungnya terkait permasalahan bangsa, termasuk rencana perombakan kabinet.

    “Pengen cerita hasil pertemuan dgn Presiden @jokowi, eh pulang dari Istana Bogor malah sakit. Intinya bakal ada resafel tunggu saja yah. Menteri yg kinerjanya ndak bagus klen bakalan dicukupkan,” tulis Dede Budhyarto, melalui akun Twitter-nya, Jumat (21/2/2020).

    Selain Dede Budhyarto, pendukung Jokowi garis keras lainnya, Chico Hakim dan Ulin Yusron juga ikut dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam tersebut. Chico Hakim pun membagikan fotonya bersama Ulin Yusron melalui akun Instagramnya ketika berada di Istana Bogor.

    Dalam postingannya, Chico Hakim menyertakan ‘quote’ Confucius atau Kong Hu Cu, seorang filsuf Tiongkok yang terkenal akan kata-kata bijaknya tentang moralitas pribadi dan pemerintahan.

    “The scholar does not consider gold and jade to be precious treasures, but loyalty and good faith. Confucius,” tulis Chico Hakim.

    Sebelumnya, Presiden Jokowi sendiri telah menegaskan bahwa dirinya tidak akan segan-segan mencopot menteri yang dinilai memiliki kinerja buruk. Komitmen ini disampaikan oleh Presiden Jokowi usai memperkenalkan para menterinya kepada publik di beranda Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10/2019) silam.

    “Semua harus serius dalam bekerja. Yang tidak serius, tidak sungguh-sungguh, sudah saya berikan (peringatan) hati-hati, bisa saya copot di tengah jalan. Saya rasa itu,” tutur Presiden Jokowi.

    Pada kesempatan yang sama, beliau juga memberikan 7 (tujuh) instruksi sebagai berikut : Jangan korupsi dan menciptakan sistem yang memberi celah untuk terjadinya korupsi; Tidak ada visi-misi menteri, yang ada hanya visi-misi Presiden dan Wakil Presiden; Kerja cepat, kerja keras dan produktif; Jangan terjebak rutinitas monoton; Berorientasi pada hasil nyata; Cek masalah di lapangan dan temukan solusinya; dan Serius dalam bekerja.

    Siapa Akan Dicopot?

    Mengenai siapa menteri yang akan dicopot oleh Presiden Jokowi memang masih menjadi teka-teki. Satu hal yang pasti, Presiden Jokowi sedang melakukan penilaian dan evaluasi yang sangat ketat terhadap para pembantunya.

    Walaupun reshuffle sepenuhnya menjadi hak prerogatif Presiden, publik boleh saja menerka-nerka berdasarkan penilaiannya masing-masing. Terlepas dari masa kerja yang baru berjalan empat bulan, sebagian menteri memang layak untuk diganti.

    Merujuk pada sepak-terjang para menteri dibandingkan dengan instruksi Presiden Jokowi, maka yang paling layak dicopot adalah Menteri Agama, Fachrul Razi. Data yang dikumpulkan dari berbagai sumber menunjukkan bahwa Menag Fachrul Razi adalah menteri yang paling sering menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

    Hal ini sejalan dengan survei Indonesia Political Opinion (IPO) yang digelar pada 10-31 Januari 2020 menggunakan Wellbeing Purposive Sampling (WPS) terhadap 1.600 responden, yang mana validitas data mencapai 94% sampai 97%.

    Hasil survei menunjukkan, predikat kementerian dengan kinerja paling buruk dipegang oleh Kementerian Agama (27,5%). Diikuti oleh Kementerian Hukum & HAM (25%), Kementerian Sosial (23,6%), Kemenpora (23%) dan Kementerian Kelautan & Perikanan (21%).

    Sedangkan Menteri yang layak dicopot yakni Menkumham Yasonna Laoly (36%), Menag Fachrul Razi (32%), Menkominfo Johnny G Plate (29%), Menteri KKP Edhy Prabowo (24%) dan Mendikbud Nadiem Makarim (22%).

    Menkumham Yasonna Laoly

    Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyebutkan, ada sembilan alasan bagi Jokowi untuk memberhentikan Yasonna Laoly sebagai Menkumham.

    Alasan pertama yakni karena Yasonna Laoly telah memberikan informasi yang tidak benar terkait keberadaan buronan KPK, Harun Masiku. Saat itu ia mengatakan bahwa Harun Masiku masih berada di luar negeri, padahal sesungguhnya yang bersangkutan telah berada di Indonesia.

    Alasan ke-dua, terjadi konflik kepentingan ketika Yasonna Laoly menghadiri konferensi pers pembentukan tim kuasa hukum PDIP terkait kasus Harun Masiku. Di satu sisi Yasonna Laoly merupakan Menkumham dan di sisi lain dirinya juga kader PDIP.

    Alasan ke-tiga, Yasonna Laoly dinilai memudahkan narapidana kasus korupsi untuk mendapatkan pembebasan bersyarat yang tertuang dalam Revisi Undang-Undang Pemasyarakatan yang dalam muatannya menghapus rekomendasi penegak hukum untuk menilai apakah seorang narapidana layak atau tidak mendapatkan pembebasan bersyarat.

    Alasan ke-empat, Yasonna Laoly dinilai ingin mempermudah terpidana koruptor mendapat remisi lewat revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

    Alasan ke-lima, Yasonna Laoly menyetujui draf RKUHP yang mengurangi hukuman minimal bagi koruptor dari empat tahun penjara menjadi dua tahun penjara.

    Alasan ke-enam, Yasonna Laoly menolak terbitnya Perppu tentang KPK dan sempat menyebutkan bahwa Presiden Jokowi tidak perlu menerbitkan Perppu. Harusnya Yasonna Laoly memahami bahwa mayoritas publik menolak pelemahan terhadap KPK dan mendesak agar Presiden dapat segera menerbitkan Perppu KPK.

    Alasan ke-tujuh, Yasonna Laoly dinilai tidak mampu menyelesaikan buruknya pengelolaan lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Buruknya pengelolaan lapas itu terlihat dari praktik suap-menyuap di Lapas Sukamismin yang tertangkap basah oleh KPK, sel-sel mewah di sejumlah lapas, serta beberapa terpidana korupsi yang plesiran.

    Alasan ke-delapan, Yasonna Laoly menyetujui revisi UU KPK. Sering kali ia menegaskan sikapnya untuk mendukung revisi UU KPK. Padahal seluruh proses dan muatan UU KPK diyakini melemahkan institusi pemberantasan korupsi tersebut.

    Alasan ke-sembilan, Yasonna Laoly diduga menerima uang sebesar 84.000 dollar AS dalam kasus korupsi e-KTP sebagaimana tercantum dalam dakwaan dan tuntutan untuk terdakwa Irman dan Sugiharto.

    Menag Fachrul Razi

    Sejak dilantik pada Rabu (23/10/2019) yang lalu, sensasi dan kontroversi yang dilakukan Fachrul Razi lebih menonjol ketimbang kerja nyata yang dilakukannya.

    Fachrul Razi yang awal penunjukannya sebagai Menteri Agama diharapkan dapat menumpas intoleransi, radikalisme dan terorisme, justru mencerminkan hal sebaliknya.

    Tidak hanya penunjukannya yang sempat menjadi pro-kontra, tapi juga pernyataan, kebijakan maupun tindakannya selama menjabat sebagai Menteri Agama seringkali menuai polemik dan kegaduhan.

    Baru-baru ini, Menag Fachrul Razi berbeda pendapat dengan Presiden Jokowi terkait kasus penolakan renovasi Gereja Katolik Santo Joseph di Tanjung Balai, Karimun, Kepulauan Riau.

    Menag Fachrul Razi mengatakan bahwa kasus tersebut bukanlah masalah intoleransi. Padahal, Presiden Jokowi memastikan bahwa kasus penolakan renovasi Gereja Katolik Santo Joseph ini merupakan kasus intoleransi.

    Presiden Jokowi bahkan sudah memerintahkan Kapolri Jendral Idham Azis dan Menko Polhukam Mahfud MD menindak tegas penolakan tersebut.

    Selain itu, Menteri Agama yang seharusnya menjadi Menteri bagi semua agama di Indonesia, hanya sibuk mengurusi hal-hal tidak berfaedah mengenai tetek bengek suatu agama.

    Bayangkan! Pejabat negara setingkat Menteri mengurusi cara berpakaian kelompok tertentu yang dikaitkan dengan kadar paparan radikalisme? Sungguh tidak berdasar dan sebuah kebijakan konyol.

    Pun dengan bangganya Menteri berlatarbelakang militer ini merestui perpanjangan izin ormas radikal yang ditentang banyak pihak.

    Beruntung terkait hal ini bukan semata wewenang Menteri Agama, tapi juga Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam).

    Andaikan tidak di-rem oleh Mendagri Tito Karnavian dan Menkopolhukam Mahfud MD, mungkin Fachrul Razi telah dikutuk oleh sebagian besar bangsa Indonesia yang anti terhadap intoleransi, radikalisme dan terorisme.

    Mungkin juga arwah para pahlawan yang gugur demi NKRI dalam bingkai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, meneteskan air mata karena perjuangannya dinodai begitu saja.

    Selepas itu, ada pula kontroversi Fachrul Razi tentang do’a berbahasa Inggris, khotbah tanpa salawat dan yang terakhir soal pemulangan WNI eks-kombatan ISIS dari Timur Tengah.

    Memang bukan isu dan wacana baru, tapi kasus terakhir sangatlah serius dan tidak boleh sembarangan karena yang dipulangkan itu bukan barang melainkan manusia yang telah dicuci otaknya dengan paham-paham radikal bahkan telah menjadi teroris.

    Bukankah Fachrul Razi sendiri pernah mengatakan bahwa hanya butuh dua jam untuk membangun radikalisme. Sedangkan untuk mengembalikan orang-orang radikal yang otaknya telah diracuni, dua tahun pun tidak akan cukup.

    Seakan lupa entah tak paham apa yang telah diucapkannya, atau merasa dirinya memegang kendali atas semua kewenangan, hingga Fachrul Razi dengan gampangnya ceplas-ceplos masalah yang menjadi tanggungjawab beberapa kementerian dan instansi.

    Jangan karena seorang Jenderal (purnawirawan) lantas seenaknya saja berbicara melangkahi BNPT, POLRI, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Sosial dan lembaga atau instansi lainnya.

    Fachrul Razi yang notabene berlatarbelakang militer seyogyanya menyadari potensi ancaman di balik kebijakan pemulangan 600 WNI eks-kombatan ISIS ini.

    Dengan situasi sekarang ini saja, apa yang sudah ia lakukan untuk menghantam paham dan kelompok yang bertentangan dengan Pancasila? Apa yang telah diperbuat untuk harmonisasi kehidupan antar umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?

    Konflik SARA yang dalam beberapa tahun terakhir menggerogoti kebhinnekaan, sudahkah mereda? Tidak sedikit saudara-saudara kita minoritas tidak bisa beribadah layaknya warga negara yang merdeka, sudahkah ada solusinya?

    Masih ingat kasus intoleransi yang berujung pada lebaran berdarah yang menimpa warga Syiah di Sampang Madura pada 2012 silam? Selayaknya kasus-kasus maupun konflik agama seperti ini menjadi PR yang harus diselesaikan oleh Menteri Agama yang sedang menjabat. Bukan malah menimbulkan kegaduhan itu sendiri.

    Apalagi masih hangat kasus pengrusakan mushalla di Minahasa dan pembangunan Gereja Katolik Santo Josep di Tanjung Balai Karimun. Menag Fachrul Razi bisa apa?

    Yang ada malah ancaman terorisme di sejumlah titik tidak terhitung lagi. Bahkan, se-elit Wiranto pun telah merasakan perihnya tusukan kelompok radikal tersebut. Ideologi radikal bukan menyangkut keamanan satu atau sekelompok orang saja. Akan tetapi menyangkut segenap bangsa dan rakyat Indonesia.

    Kini, setelah pemulangan 600 WNI eks-kombatan ISIS viral dan terlanjur menuai kegaduhan, barulah anda mengklarifikasinya secara lengkap.

    Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada arti. Pikir itu pelita hati, Pak Menteri.

    Mustahil mewujudkan Visi Indonesia Maju yang menjadi cita-cita Presiden Jokowi dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, bila cara berpikirnya “se-level” Fachrul Razi.

    Jika saat ini Presiden Jokowi diharuskan mencopot menterinya karena ketidakbecusan, nama Fachrul Razi layak berada pada urutan paling depan.

    Tak ada kinerja yang membanggakan, hanya penuh dengan kekecewaan. Kalau pun ada, hanya sensasi dan kontroversi kebanggaan seorang Facrul Razi atau loyalisnya sendiri, bukan kebanggaan rakyat dan bangsa Indonesia.

    # Wik | HAI/THREECHANNEL.CO

    No comments

    ada

    ada

    Post Bottom Ad

    ad728
    PT. Prosumbar Media Group, Mengucapkan: Selamat datang di www.sumbarraya.com, Terima kasih telah berkunjung.. Semoga anda senang! Tertanda Pemred: Nov Wibawa