Kejagung Periksa Eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan sebagai Tersangka
Kasubdit Penyidikan pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Sugeng Riyanta mengatakan, pemeriksaan terhadap Karen dijadwalkan hari ini. Namun, dia tak menjelaskan alasan kenapa penyidik baru memeriksa Karen kembali setelah lima bulan ditetapkan sebagai tersangka.
Sugeng juga mengaku belum tahu kapan Karen akan memenuhi jadwal pemeriksaan tersebut. "Tapi yang jelas sudah diagendakan pemeriksaan hari ini," katanya.
Karen Agustiawan ditetapkan sebagai tersangka oleh tim penyidik Kejaksaan Agung sejak 22 Maret 2018. Namun sejak saat itu, Karen belum pernah diperiksa kembali sebagai tersangka oleh tim penyidik.
Pada kasus ini, tim penyidik Kejaksaan Agung juga telah menetapkan Chief Legal Councel and Compliance PT Pertamina Genades Panjaitan dan Direktur Keuangan Pertamina, Frederik Siahaan. Karen dan dua tersangka lainnya juga telah dikenakan status pencegahan bepergian ke luar negeri pada 22 Maret 2018.
Sementara itu, mantan Manager Merger dan Investasi (MNA) pada Direktorat Hulu PT Pertamina, Bayu Kristanto, sudah ditetapkan sebagai tersangka lebih dulu dan langsung ditahan selama 20 hari oleh tim penyidik.
Kronologi Kasus
Kasus itu
bermula saat Pertamina melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Hulu
Energi (PHE) melakukan akuisisi saham sebesar 10 persen terhadap ROC
Oil Ltd untuk menggarap Blok BMG.
Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase - BMG Project diteken pada 27 Mei 2009. Nilai transaksinya mencapai USD 31 juta.
Akibat akuisisi itu, Pertamina harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar USD 26 juta. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp 568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga 812 barrel per hari.
Namun ternyata, Blok BMG hanya bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari. Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup, setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah. Alasannya, blok ini tidak ekonomis jika diteruskan produksi.
Investasi yang sudah dilakukan Pertamina akhirnya tidak memberikan manfaat maupun keuntungan dalam menambah cadangan dan produksi minyak nasional.
Hasil penyidikan Kejagung menemukan dugaan penyimpangan dalam proses pengusulan investasi di Blok BMG. Pengambilan keputusan investasi tanpa didukung feasibility study atau kajian kelayakan hingga tahap final due dilligence atau kajian lengkap mutakhir. Diduga direksi mengambil keputusan tanpa persetujuan Dewan Komisaris.
Akibatnya, muncul kerugian keuangan negara dari Pertamina sebesar USD 31 juta dan USD 26 juta atau setara Rp 568 miliar.
Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase - BMG Project diteken pada 27 Mei 2009. Nilai transaksinya mencapai USD 31 juta.
Akibat akuisisi itu, Pertamina harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar USD 26 juta. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp 568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga 812 barrel per hari.
Namun ternyata, Blok BMG hanya bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari. Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup, setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah. Alasannya, blok ini tidak ekonomis jika diteruskan produksi.
Investasi yang sudah dilakukan Pertamina akhirnya tidak memberikan manfaat maupun keuntungan dalam menambah cadangan dan produksi minyak nasional.
Hasil penyidikan Kejagung menemukan dugaan penyimpangan dalam proses pengusulan investasi di Blok BMG. Pengambilan keputusan investasi tanpa didukung feasibility study atau kajian kelayakan hingga tahap final due dilligence atau kajian lengkap mutakhir. Diduga direksi mengambil keputusan tanpa persetujuan Dewan Komisaris.
Akibatnya, muncul kerugian keuangan negara dari Pertamina sebesar USD 31 juta dan USD 26 juta atau setara Rp 568 miliar.
# Liputan6.com
No comments