• Breaking News

    Advertisement

    loading...

    Pertama dalam Sejarah MK, Sengketa Pilpres Ada Dissenting Opinion, Saldi Isra Kritik Putusan Hakim


    Wakil Ketua MK Saldi Isra mengkritik putusan mayoritas hakim yang dinilai hanya berfokus pada keadilan prosedural dalam penyelenggaraan pemilu.

    SUMBARRAYA.COM, - - - 

    Mahkamah Konstitusi (MK) telah membacakan putusannya terkait sengketa Pilpres 2024, Senin (22/4/2024). 

    Putusan MK sengketa Pilpres 2024 yang menolak permohonan paslon 01 Anies-Muhaimin dan paslon 03 Ganjar-Mahfud ini diwarnai dissenting opinion dari 3 Hakim MK yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.

    Adanya dissening opinion dari 3 hakim (Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat) dalam putusan MK sengketa Pilpres 2024 ini menjadi yang pertama dalam sejarah Mahkamah Konstitusi. 

    Pertama kalinya dalam sejarah, majelis hakim tidak bulat dalam memutus dugaan kecurangan pemilu.

    Dari 8 hakim yang memutus sengketa ini, 5 hakim setuju menolak permohonan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, sedangkan 3 lainnya menyatakan tidak setuju (dissenting opinion, pendapat berbeda) atas penolakan itu.

    Seandainya Ketua MK Suhartoyo masuk dalam kelompok hakim yang dissenting, skor akan menjadi 4-4 dan MK bisa saja memutus pemungutan suara ulang (PSU) sebagaimana diminta para pemohon.

    Pasalnya, dalam skor imbang, putusan yang diambil akan melihat di mana posisi ketua sidang, dalam hal ini Suhartoyo.

    Diketahui 8 hakim MK yang mengadili perkara sengketa Pilpres 2024 ini adalah:

    - Suhartoyo, Ketua MK

    - Saldi Isra, Wakil Ketua MK

    - Arief Hidayat

    - Enny Nurbaningsih

    - Daniel Yusmic Pancastaki Foekh

    - Guntur Hamzah

    - Ridwan Masyur

    - Arsul Sani

    Saldi Isra bandingkan pemilu zaman Soeharto

    Wakil Ketua MK Saldi Isra mengkritik putusan mayoritas hakim yang dinilai hanya berfokus pada keadilan prosedural dalam penyelenggaraan pemilu, padahal itu tidak serta-merta mencerminkan keadilan substansial.

    Ia menjelaskan, secara prosedural, pelaksanaan pemilu mungkin sudah berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan, di mana apabila terjadi pelanggaran dan ditangani sesuai dengan mekanisme yang tersedia, maka sudah terkategori sebagai pemilu yang jujur dan adil.

    "Melampaui batas keadilan prosedural itu, asas jujur dan adil dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tidak hendak berhenti pada batas keadilan prosedur semata," ujar Saldi usai pembacaan putusan, Senin (22/4/2024).

    "Sebab, pemilu di masa Orde Baru pun berjalan memenuhi segala prosedur yang ada, yaitu dilaksanakan dengan memenuhi standar mekanisme yang ditentukan dalam UU Pemilu saat itu," ujar dia.

    "Namun secara empirik, pemilu Orde Baru tetap dinilai curang, karena secara substansial pelaksanaan pemilunya berjalan dengan tidak fair, baik karena faktor pemihakan pemerintah pada salah satu kontestan pemilu, maupun karena faktor praktik penyelenggaraan pemilu yang tidak memberi ruang kontestasi yang adil bagi semua kontestan pemilu," jelas Saldi.

    Ia menyinggung, asas jujur dan adil dalam norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menghendaki sebuah keadilan dan kejujuran pemilu yang lebih materil.

    "Jujur dan adil yang dikehendaki bukan hanya sekadar sikap patuh pada aturan, melainkan sikap tidak berlaku curang, tidak berbohong dan tidak memanipulasi atau memanfaatkan celah hukum/kelemahan aturan hukum pemilu yang ada untuk melakukan tindakan yang secara esensial merupakan praktik curang dalam sebuah kontestasi," terangnya.

    Ia juga menyoroti ketidaksetujuannya terhadap pandangan MK berkaitan dengan tidak adanya hubungan antara pengerahan bantuan sosial (bansos) pada masa yang berimpitan dengan penyelenggaraan Pemilu 2024.

    Menurutnya, peristiwa semacam itu harus dibaca secara lebih luas dengan menyingkap fakta-fakta di balik peristiwa.

    Bukan tidak mungkin hal semacam itu, secara kontekstual, merupakan bentuk kamuflase dari dukungan pemerintah petahana atas calon penerus yang disukainya.

    Ia mengibaratkannya sebagai asap yang membubung tinggi, namun tidak ada satu pun yang mampu menemukan titik apinya.

    Enny Nurbaningsih di Luar Prediksi Refly Harun

    Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun merespon ditolaknya gugatan sengketa pilpres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN) di Mahkamah Konstitusi (MK).

    Menurutnya jika hakim senior MK Suhartoyo setuju dengan gugatan AMIN.

    Gugatan dari Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar bakal dikabulkan oleh MK.

    "Hasil putusan MK terus terang saya tidak kecewa. Walaupun sayang sebetulnya. Kenapa sayang?

    Dari 8 Hakim MK. Tiga orang berpihak kepada kita jadi memang posisinya 3 dan 5," kata Refly Harun di Jakarta, Senin (22/4/2024) sore.

    Tiga orang itu, kata Refly yakni tiga Hakim senior dengan gelar profesor. Profesor Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.

    "Seandainya satu hakim senior lagi itu berpihak kepada kita permohonan kita kabul harusnya. Yaitu Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo," sambungnya.

    Dikatakan Refly ia mulanya memprediksi Hakim MK Suhartoyo, Arif Hidayat dan Saldi Isra tak tergoyahkan.

    "Kenapa begitu karena ketiganya hakim yang menolak mengabulkan putusan Gibran," jelasnya.

    Jadi dalam prediksinya, pihaknya hanya butuh satu hakim MK lagi.

    "Ternyata ada Enny Nurbaningsih yang diperkirakan takut dengan Istana, karena kebetulan yang memilihnya adalah Istana," ungkapnya.

    Meski Enny Nurbaningsih di luar prediksinya, justru Ketua MK Suhartoyo ikut menolak mengabulkan gugatan kubu AMIN.

    Sumber: TribunKaltim

    No comments

    ada

    ada

    Post Bottom Ad

    ad728
    PT. Prosumbar Media Group, Mengucapkan: Selamat datang di www.sumbarraya.com, Terima kasih telah berkunjung.. Semoga anda senang! Tertanda Pemred: Nov Wibawa