Disindir Seperti Ahli Nujum, Anthony Balas Yusril Berwawasan Sempit
Ketika membeberkan kajian politisasi bansos menangkan Prabowo-Gibran di sidang Mahkamah Konstitusi), ekonom PEPS, Anthony Budiawan disebut Yusril Ihza Mahendra, bak ahli nujum.
SUMBARRAYA.COM, - - -
Ketika membeberkan kajian politisasi bansos menangkan Prabowo-Gibran di sidang Mahkamah Konstitusi), ekonom Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan disebut Yusril Ihza Mahendra, bak ahli nujum.
Pada 1 April 2024, Anthony dihadirkan kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) sebagai ahli dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di Gedung MK, Jakarta.
Usai mendengarkan pemaparan, Yusril yang menjabat Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran, menyampaikan keberatan.
Kepada Ketua Majelis Sidang MK, Suhartoyo, dia mempermasalahkan apakah Anthony berbicara sebagai ahli hukum, ekonomi, atau nujum.
"Supaya kami ini tidak bingung sebagai pihak terkait mungkin lebih baik kuasa hukum yang menghadirkan ahli, menerangkan ahli ini sebenarnya ahli apa. Apakah ahli pidana, ekonomi, atau ahli nujum. Atau ahli apa dia dihadirkan di sini. Kami bingung," kata Yusril.
Memang saat pertanyaan itu dilayangkan, baik Anthony maupun kubu AMIN tidak menjawab pertanyaan Yusril dan Hotman Paris.
Alasannya, pertanyaan Yusril dan Hotman tidak substansial. Sehingga tak perlu dijawab langsung.
"Pertanyaan keduanya tak menyentuh substansi dari apa yang saya sampaikan di persidangan. Artinya, mereka tidak membantah pendapat saya bahwa Presiden Jokowi kuat dugaan melanggar konstitusi dan sejumlah UU terkait pemberian bansos sepihak, sampai Juni 2024. Karena tidak melibatkan persetujuan DPR," tuturnya.
Anthony menyayangkan pertanyaan Yusril tentang keahliannya.
"Pak Yusril malah mengajukan pertanyaan yang justru merendahkan profesinya sebagai ahli hukum. Pertanyaan dan pernyataan Yusril itu, menunjukkan betapa wawasan Yusril cukup sempit. Dia tak bisa membedakan ahli ekonomi atau hukum," tegasnya.
Dia pun sangat heran dengan kualitas pertanyaan Yusril yang recehan.
Padahal, Yusril adalah bekas menteri hukum dan HAM, serta pakar hukum tata negara.
"Bagaimana mungkin, seorang ahli hukum tata negara ternama mengajukan pertanyaan absurd di MK yang terhormat. Yang jauh lebih buruk dari diskusi di warung kopi? Makanya, kita abaikan dulu pertanyaan Yusril," ungkapnya.
Selanjutnya, Anthony menjelaskan posisi keahliannya saat bersidang pada 1 April 2024.
Pertama, seorang ahli ekonomi atau ekonom, tentu saja wajib mengetahui dan memahami peraturan perundang-undangan terkait bidang ekonomi secara luas.
Misalnya, sektor fiskal, moneter, perindustrian, persaingan usaha dan anti-monopoli, BUMN, serta bidang ekonomi lainnya.
"Bagaimana seorang ekonom bisa mengambil atau mengkritisi kebijakan ekonomi kalau tidak paham dengan undang-undang yang terkait ekonomi. Ya,enggak mungkinlah," imbuhnya.
Bagaimana seorang ekonom bisa menilai atau mengkritisi kebijakan fiskal, kata Anthony, untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, redistribusi pendapatan, jika tidak paham UU Keuangan Negara, UU APBN, atau UU Perpajakan.
"Bagaimana seorang ekonom dapat mengambil atau mengkritisi kebijakan moneter kalau tidak paham dengan UU tentang Bank Indonesia yang mengatur permasalahan moneter, termasuk inflasi," terangnya.
Namun, lanjutnya, paham akan peraturan perundang-undangan, tidak serta merta membuat seseorang layak disebut sebagai ahli hukum.
Selanjutnya, untuk mengetahui apakah sebuah kebijakan melanggar UU, tidak perlu harus menjadi ahli hukum.
"Karena, pasal dalam UU ditulis dan diatur secara jelas, sehingga hanya ada satu interpretasi," kata Anthony.
Misalnya, kata Anthony, pasal 23 UUD menyatakan bahwa penyusunan atau rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), wajib dibahas bersama DPR, wajib mendapat persetujuan DPR, dan wajib ditetapkan dengan undang-undang tentang APBN.
"Kalau kemudian ada pengeluaran (belanja) negara yang ditetapkan presiden/pemerintah secara sepihak, tanpa pembahasan bersama DPR. Karena itu tidak mendapat persetujuan DPR, dan oleh karena itu tidak ditetapkan dengan UU, maka tidak perlu menjadi ahli hukum untuk menyatakan pendapat bahwa kebijakan presiden melanggar UUD atau konstitusi," pungkasnya.
Sumber: inilah.com
No comments