Firli Bahuri, Ketua KPK : Korupsi Terjadi Karena Hukuman Rendah dan Sistem Buruk
Ketua KPK, Firli Bahuri
SUMBARRAYA.COM, (Jakarta) - - -
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komjen Firli Bahuri membeberkan penyebab seseorang melakukan tindak pidana korupsi. Menurutnya, banyak faktor yang membuat oknum tertentu berani menyalahgunakan kekuasaan hingga mengambil uang rakyat.
"Korupsi terjadi karena banyak faktor, dan tidak ada sebab tunggal orang melakukan korupsi. Banyak teori terkait dengan sebab-sebab terjadinya korupsi," ujar Firli saat dikonfirmasi, Selasa (7/7/2020).
Firli menyebut, faktor yang paling mendasar bagi seseorang mengambil uang rakyat yakni karena sifat tak puas yang ada dalam diri manusia. Sifat ingin memiliki sesuatu yang lebih menjadikan seseorang berani merugikan keuangan negara demi kepentingan pribadi.
"Korupsi itu terjadi karena keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan hukuman yang rendah (GONE theory). Korupsi juga dipengaruhi oleh kekuasaan dan kesempatan serta minimnya integritas," kata Firli.
Selain beberapa faktor tersebut, menurut Firli salah satu penyebab terjadinya tindak pidana korupsi lantaran sistem yang buruk.
"Korupsi tidak terlepas dari sistem sebagai penyebabnya. Ini yang sering saya sebut sebagai korupsi karena sistem. Untuk itu, banyak hal bidang yang perlu dibenahi (sistem ekonomi, sistem tata niaga, sistem pelayananan publik, sistem pengadaan barang dan jasa, sistem perijinan, sistem rekruitmen, sistem import export, termasuk juga sistem politik dan sistem pilkada langsung perlu menjadi pemikiran kita semua," kata dia.
"KPK sudah melakukan kajian terkait politik berintegritas termasuk pelaksanaan Pilkada langsung," kata Firli.
Sebelumnya, Firli menyebut, jika pemerintahan dalam suatu daerah dikuasai keluarga, maka potensi terjadinya tindak pidana korupsi akan sangat besar.
"Kalau kekuasaan eksekutif dan legislatif dikuasai oleh hubungan keluarga, maka dapat diduga korupsi tidak bisa terelakkan," ujar Firli saat dikonfirmasi, Senin (6/7/2020).
Firli menyebut, penangkapan terhadap Bupati Kutai Timur Ismunandar dan Ketua DPRD Kutai Timur Encek Unguria Firgasih membuktikan hal tersebut. Ismunandar dan Encek merupakan pasangan suami istri yang dijerat dalam kasus dugaan suap proyek infrastruktur di Kutai Timur.
"Penangkapan tersangka korupsi di Kutai Timur membongkar relasi korupsi dan nepotisme. Para pejabat yang menduduki jabatan membuktikan bahwa pengaruh kuat nepotisme terhadap korupsi," kata Firli.
Menurut Firli, dalam tindak pidana korupsi yang menjerat Ismunandar dan Encek membuktikan betapa lancarnya kongkalikong yang diperlihatkan keluarga.
Firli mengatakan, sebuah proyek disusun oleh Ismunandar dan disetujui oleh Encek.
"Proyek disusun Pemda dan disetujui Ketua DPRD, kemudian dicarikan rekanan yang merupakan tim sukses untuk Pilkada bupati. Proyek dikerjakan Dinas PUPR dan Dinas Pendidikan, yang kemudian bupati Kutim menjamin tidak ada relokasi anggaran di Dinas Pendidikan dan PUPR.
Firli menyebut, faktor yang paling mendasar bagi seseorang mengambil uang rakyat yakni karena sifat tak puas yang ada dalam diri manusia. Sifat ingin memiliki sesuatu yang lebih menjadikan seseorang berani merugikan keuangan negara demi kepentingan pribadi.
"Korupsi itu terjadi karena keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan hukuman yang rendah (GONE theory). Korupsi juga dipengaruhi oleh kekuasaan dan kesempatan serta minimnya integritas," kata Firli.
Selain beberapa faktor tersebut, menurut Firli salah satu penyebab terjadinya tindak pidana korupsi lantaran sistem yang buruk.
"Korupsi tidak terlepas dari sistem sebagai penyebabnya. Ini yang sering saya sebut sebagai korupsi karena sistem. Untuk itu, banyak hal bidang yang perlu dibenahi (sistem ekonomi, sistem tata niaga, sistem pelayananan publik, sistem pengadaan barang dan jasa, sistem perijinan, sistem rekruitmen, sistem import export, termasuk juga sistem politik dan sistem pilkada langsung perlu menjadi pemikiran kita semua," kata dia.
"KPK sudah melakukan kajian terkait politik berintegritas termasuk pelaksanaan Pilkada langsung," kata Firli.
Sebelumnya, Firli menyebut, jika pemerintahan dalam suatu daerah dikuasai keluarga, maka potensi terjadinya tindak pidana korupsi akan sangat besar.
"Kalau kekuasaan eksekutif dan legislatif dikuasai oleh hubungan keluarga, maka dapat diduga korupsi tidak bisa terelakkan," ujar Firli saat dikonfirmasi, Senin (6/7/2020).
Firli menyebut, penangkapan terhadap Bupati Kutai Timur Ismunandar dan Ketua DPRD Kutai Timur Encek Unguria Firgasih membuktikan hal tersebut. Ismunandar dan Encek merupakan pasangan suami istri yang dijerat dalam kasus dugaan suap proyek infrastruktur di Kutai Timur.
"Penangkapan tersangka korupsi di Kutai Timur membongkar relasi korupsi dan nepotisme. Para pejabat yang menduduki jabatan membuktikan bahwa pengaruh kuat nepotisme terhadap korupsi," kata Firli.
Menurut Firli, dalam tindak pidana korupsi yang menjerat Ismunandar dan Encek membuktikan betapa lancarnya kongkalikong yang diperlihatkan keluarga.
Firli mengatakan, sebuah proyek disusun oleh Ismunandar dan disetujui oleh Encek.
"Proyek disusun Pemda dan disetujui Ketua DPRD, kemudian dicarikan rekanan yang merupakan tim sukses untuk Pilkada bupati. Proyek dikerjakan Dinas PUPR dan Dinas Pendidikan, yang kemudian bupati Kutim menjamin tidak ada relokasi anggaran di Dinas Pendidikan dan PUPR.
Fee proyek ditampung oleh Kepala BPKAD dan Kepala Bapenda untuk kepentingan Bupati Kutim," kata dia.
(mond/merdeka)
No comments