Media Mainstream Terciduk Beritakan Hoax, Wilson Lalengke: Jika Punya Rasa Malu, Sebaiknya Bubarkan Diri Saja
![]() |
Ketum PPWI Wilson Lalengke |
SUMBARRAYA.COM, (Jakarta) - - -
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke,
S.Pd, M.Sc, MA, mengatakan dirinya amat prihatin dengan media-media
nasional yang beberapa waktu belakangan ini sering melakukan pemberitaan
yang tidak benar, bohong, dan tidak akurat alias berita hoax. “Saya
sangat prihatin terhadap pola laku media-media nasional yang beberapa
tahun terakhir sering terjebak dalam pemberitaan yang tidak benar,
bohong dan tidak akurat. Kesalahan pemberitaan oleh media selama ini
hanya akan menghasilkan generasi tolol karena dicekoki dengan informasi
yang tidak benar alias hoax,” kata Wilson melalui pesan WhatsApp-nya ke
redaksi media ini, Sabtu, 20 Juni 2020.
Hal itu disampaikan Alumni PPRA-48 Lemhannas tahun 2012 ini menanggapi
beredarnya informasi terkait puluhan media nasional yang harus berurusan
di Dewan Pers atas pengaduan masyarakat soal isi pemberitaan mereka
yang dinilai bohong di media masing-masing. Sebagaimana diketahui bahwa
tidak kurang dari 27 media mainstream nasional (1), termasuk Tempo,
Kompas, dan BBC, beberapa waktu lalu memberitakan tentang hasil putusan
PTUN No. 230/G/TF/2019/PTUN-JKT tertanggal 3 Juni 2020.
Dalam pemberitaannya, media-media tersebut menyebutkan bahwa PTUN
Jakarta memerintahkan Menkominfo dan Presiden RI meminta maaf atas
kebijakan yang salah telah memperlambat dan memutus hubungan internet di
Papua semasa terjadi kerusuhan tahun 2019 lalu. Informasi ini tidak
sesuai dengan fakta, karena di dalam putusan PTUN itu tidak terdapat
kalimat ataupun kata yang menyatakan demikian atau yang dapat
ditafsirkan seperti itu (2).
Atas keteledoran 27 media nasional tersebut, belasan elemen masyarakat
menyampaikan pengaduan ke Dewan Pers. Akhirnya, semua pimpinan media itu
mengakui telah melakukan kesalahan dalam pemberitaan mereka terkait
hasil keputusan PTUN dimaksud (3). Sebagai konsekwensinya, media-media
ini harus meminta maaf dan membuat pemberitaan koreksi atas kesalahan
pemberitaan mereka.
Salah satu media dari 27 media tersebut yang sempat dirujuk
pemberitaanya, ternyata telah merubah judul beritanya. Judul awal adalah
“Dinyatakan Bersalah, Jokowi Harus Minta Maaf Lewat Media Selama
Seminggu”, yang kemudian dirobah menjadi “Gugatan ke Pemerintah Terkait
Pemutusan Jaringan Internet di Papua”. Di bagian bawah tertulis Catatan
Redaksi: Warta Ekonomi telah meralat judul karena terdapat kekeliruan di
dalamnya. Redaksi menyampaikan permohonan maaf atas kekeliruan ini. (4)
Mengutip dari informasi yang beredar di media online, jejaring media
sosial dan WhatsApp group, berikut adalah media-media yang “terciduk”
melakukan pemberitaan bohong alias hoax:
1. rmol.id
2. tempo.co
3. merdeka.com
4. tirto.id
5. wartaekonomi.co.id
6. waspada.co
7. tribunnews.com
8. era.id
9. fajar.co.id
10. timesindonesia.co.id
11. batamtoday.com
12. pojoksatu.id
13. bbc.com
14. vivanews.com
15. akurat.co
16. alinea.id
17. antaranews.com
18. cnnindoensia.com
19. idntimes.com
20. katadata.co.id
21. kompas.com
22. law-justice.co
23. radarbogor.id
24. radio sonora
25. suarakarya.id
26. wartakota
27. riausky.com
Lebih lanjut, Wilson mengatakan bahwa pemberitaan keliru yang dilakukan
oleh media-media nasional tersebut telah sering terjadi (5), namun tidak
semasif terkait putusan PTUN baru-baru ini. Juga, menurutnya mungkin
karena tingkat ke-hoax-an beritanya masih bisa ditolerir, maka
pihak-pihak yang dirugikan sering tidak menggubrisnya.
“Pemberitaan politik paling sering ditumpangi oleh berita-berita bohong
atau menyimpang dari fakta lapangan. Apalagi informasi bernuansa
politisasi agama, suku, dan ras serta antar golongan, hampir selalu
disusupi oleh berita yang tidak benar, minimal dipelintir oleh oknum
media-media tertentu,” beber Wilson yang menyelesaikan pendidikan
masternya di bidang Global Ethics di Birmingham University, Inggris ini.
Wilson, yang dikenal getol membela wartawan dan pewarta warga yang
sering dizolimi dengan alasan medianya belum terdaftar Dewan Pers, belum
UKW, dan dicap wartawan abal-abal, ini menyarankan agar para pengelola
media dan Dewan Pers bercermin diri dari kejadian pemberitaan hoax oleh
media-media nasional itu. “Dewan Pers harus sadar diri, jangan
beranggapan bahwa ketika media sudah terdaftar dan terverifikasi di
lembaganya, berarti media tersebut sudah kredibel, layak dipercaya,
pasti selalu benar, selalu akurat, profesional, dan segala embel-embel
puja-puji seperti selama ini mereka lalukan. Ternyata, omong-kosong
belaka,” terang Wilson.
Sebaliknya, sambung dia, media yang dikelola oleh masyarakat, berupa
media online, blog, bahkan media sosial dan jejaring komunitas, justru
jauh lebih otentik, faktual dan original. “Hanya cara penyampaian berita
dan ketrampilan penggunaan teknologi publikasi mereka saja yang masih
perlu dibenahi melalui pelatihan, workshop dan/atau magang jurnalistik.
Dewan Pers jangan konyollah mendiskriminasi para jurnalis dan
media-media di tanah air. Lihat itu, media-media nasional yang tempo
hari dibantu Dewan Pers mengemis anggaran Covid-19 ke Pemerintah bersama
Kemenkominfo, kerja mereka juga banyak hoax-nya. Sayangnya pemerintah
juga abai dengan kinerja lembaga itu selama ini,” jelas Wilson masgul.
Kepada para pengelola media nasional yang “terciduk” memberitakan
kebohongan secara berjamaah itu, Wilson berpesan agar jangan sombong,
jangan merasa diri paling hebat dalam dunia jurnalisme. Zaman sudah
berubah, era media digital telah menggeser peran dominan media
mainstream ke media warga. Publik lebih tahu informasi teraktual dan
faktual yang terjadi di wilayah masing-masing dibandingkan media-media
yang selama ini mengklaim diri sebagai mainstream.
“Pesan saya ke teman-teman media nasional, berhentilah kalian
menyombongkan diri, mengklaim diri sebagai media terbaik, terverifikasi
Dewan Pers, paling kredibel, paling profesional, paling layak dijadikan
referensi, paling akurat, paling joss, dan lain-lain. Masyarakat
sekarang sudah cerdas informasi, tidak lagi seperti belasan tahun lalu,
dapat kalian giring dengan pemberitaan bohong, hoax dan pelintir sana
pelintir sini,” ucap Wilson yang juga menyelesaikan program masternya di
bidang Applied Ethics di Utrecht University, Belanda, dan Linkoping
University, Swedia itu.
Wilson bahkan lebih tegas menyarankan agar para pengelola media nasional
itu membubarkan diri dan mencari pekerjaan lain saja yang lebih halal.
“Yaa, kata orang tua-tua, kerbau bebal masih bermanfaat bisa dijadikan
hewan kurban; tapi manusia bebal, tidak beretika, penyebar kebohongan di
sana-sini, mereka tidak berguna dan merupakan sampah masyarakat.
Memberitakan kebohongan itu adalah pelanggaran kode etik jurnalistik
yang fatal. Kalau kode etiknya sudah dikencingi, artinya moralitas para
pengelola media itu sudah nol koma nol. Jika masih punya rasa malu dan
harga diri, sebaiknya mereka mengundurkan diri dari dunia jurnalisme
profesional dan mencari pekerjaan lain yang lebih halal,” tegas Wilson
yang sudah melatih ribuan anggota TNI, Polri, ASN, LSM, wartawan,
mahasiswa, guru, Karang Taruna, dan elemen masyarakat lainnya di bidang
jurnalistik itu. (APL/Red)
Referensi:
1. Baca Surat Dewan Pers kepada para pengadu (Ade Armando, dkk) Nomor:
506/DP-K/VI/VI/2020 tertanggal 16 Juni 2020 tentang Tanggapan atas
Pengaduan.
2. PTUN Dipastikan Tak Perintahkan Jokowi Minta Maaf Soal Blokir
Internet di Papua
https://news.detik.com/berita/d-5040881/ptun-dipastikan-tak-perintahkan-jokowi-minta-maaf-soal-blokir-internet-di-papua.
3. 27 Media Akui Kesalahan Pemberitaan Soal Putusan PTUN Papua
https://nusadaily.com/metro/27-media-akui-kesalahan-pemberitaan-soal-putusan-ptun-papua.html.
4. Gugatan ke Pemerintah Terkait Pemutusan Jaringan Internet di Papua
https://www.wartaekonomi.co.id/read288350/dinyatakan-bersalah-jokowi-harus-minta-maaf-lewat-media-selama-seminggu.
5. Media Tempo Harus Minta Maaf Terkait Berita Hoaks
https://www.kompasiana.com/silvesterdetianusgea8289/5e5cc9d3d541df47850945a2/media-tempo-harus-minta-maaf-terkait-berita-hoax
No comments