Diprediksi Ada Parpol Lama jadi Korban Ambang Batas Parlemen
SUMBAR RAYA.COM, JAKARTA
- - - Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini memprediksi, ambang batas
parlemen (parliamentary threshold) sebesar empat persen akan membuat
perhelatan Pemilu 2019 semakin sengit.
Partai politik baru juga akan habis-habisan untuk meraih suara, antara lain dengan merebut basis pemilih partai lama.
"Suara
masyarakat akan terdistribusi kepada 16 partai yang lolos verifikasi.
Jadi partai di parlemen bisa saja tidak terpilih lagi," ungkap Titi,
Rabu (29/8).
Titi menjelaskan,
ambang batas empat persen membuat satu parpol harus mengumpulkan
sebanyak lima juta suara untuk bisa masuk ke palemen. Jumlah itu cukup
besar dan akan membuat partai baru bekerja keras memenuhi kuota
tersebut.
Partai baru yang lolos
menjadi peserta Pemilu 2019 antara lain, Partai Berkarya, Partai Garuda,
dan Partai Solidaritas Indonesia.
Dia
juga memprediksi, ambang batas yang tinggi dan jumlah parpol yang
bertambah akan membuat banyak suara masyarakat dalam Pemilu 2019 menjadi
terbuang.
"Masyarakat sudah
memilih, tapi parpolnya tidak lulus ambang batas parlemen. Maka, suara
masyarakat menjadi terbuang dan tidak terhitung," imbuhnya.
Pakar
Hukum Tata Negara Margarito Kamis menilai, ambang batas parlemen dan
presiden belum tepat diterapkan untuk Pemilu 2019. "Tidak mungkin tidak.
Sebab, (aturan tersebut, red) tidak punya dasar posisional sama
sekali," tambah Margarito.
Menurut
Margarito, akan sulit menerapkan aturan ambang batas pada Pemilu 2019.
Sebab, pelaksanaan pemilu legislatif dan Pilpres akan dilakukan secara
serentak.
Oleh karena itu, penetapan
angka sebagai ambang batas menjadi tidak relevan. Kecuali, Pemilu
dilangsungkan tidak secara serentak.Dia juga menambahkan, Pemilu 2019
nanti sebaiknya belum menerapkan ambang batas. Baik pada Pileg maupun
Pilpres.
"Parliamentary threshold itu ditiadakan saja lebih baik. Begitu juga Presidential threshold," sarannya.
Pendapat
itu diamini Pengamat Hukum Rahmat Bastian. Menurutnya, secara
konstitusi, ambang batas parlemen mengebiri aspirasi rakyat. Sebab,
dengan kebijakan itu, jelas memperkecil nilai dan kualitas hak memilih
satu pemilih.
Hitungannya, 100
persen suara pemilih menjadi tidak bulat. Dan hanya tersisa sekitar 0,4
persen saja.
"Jadi kalau menurut pendapat saya, akibatnya akan ada
sekitar 3,99 persen dikali jumlah Parpol yang kalah dikali suara rakyat
dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) resmi yang hak pilihnya teranulir,"
paparnya.
Sebagai orang yang
memiliki hak pilih, dia berharap, masyarakat kritis terhadap persoalan
ini.
"Bayangkan jika setiap satu rakyat memutuskan untuk memperjuangkan
hak memilihnya melalui jalur Yudikatif. Khususnya hak memilih yang telah
teranulir sendiri, bagaimana?" ujarnya.
Dikatakan bahwa konstitusi tidak pernah mengajarkan Republik Indonesia untuk menganulir suara minoritas.
# jpnn.com
No comments