• Breaking News

    Advertisement

    loading...
    Jiwa Yang Gagal
                                                                  Oleh: DEFI PUTRA

     Aku sedikit melamun dengan pandangan kosong, meniti tarian-tarian alam di luar jendela kereta. Aktifitas luar tampak bersemangat, sepoi angin yang mengajak menari para dedaunan, awan-awan yang tersenyum pada tipis rajutannya tampak menatap curamnya lereng gunung. 
    Waktu itu, pukul lima belas, matahari masih lihai memanggang kaca-kaca jendela hingga menjamah mataku, lampu-lampu yang menginap di langit-langit kereta rupanya ingin beradu sinar dengan matahari. Aku mengerutkan kening, tak kuasa menumpas begitu banyaknya fraksi-fraksi cahaya yang mereka semburkan —lampu-lampu itu laun merenggut kantukku.
    Mataku terpejam, sejenak membelalak. Betapa ganas pendingin ruangan yang menerkam tubuhku hingga terasa mematahkan sendi. Balutan kain di permukaan tubuhku pun telah bersikeras membentengi kulit yang sedikit memucat, sayangnya, balutan kain ini tak selihai dingin yang kini tengah menguasai tubuhku. 
    Kereta bernama Penataran Dhoho teramat lengang nan jenuh. Beberapa kursi terbiarkan saling bertatapan sendiri, barangkali kursi-kursi kosong ini sudah langgeng dengan dingin, sehingga terbiasa telentang dengan angkuhnya. Begitupula kursi bernomor 16 d serta 15 d yang masih saja kosong semenjak kereta bernaung di bawah papan nama stasiun, tempat di mana kaki ini menanti sebuah pijakan sebagai pengantar untuk sampai ke rumah.
     Beberapa kaki mungil yang juga kudapati ketika aku masih berada di stasiun, saling membagi riuh oleh hentakan-hentakan beserta celoteh tawa mereka, menghancurkan kebekuan yang menginap di sana, kanak-kanak memang cenderung sukar diam, dan selalu pintar mencari kebahagiaan dalam kondisi absurd sekalipun bagiku. Masa kanak-kanak memang masa yang sulit terulang, ketika masih rentan dan belum mampu memaknai dosa.
     Setidaknya, di bangku yang kutempati, masih ada yang membantuku untuk terperanjak dari perihal kekosongan. Setidaknya, meski tak saling berlibat bicara, ada pemandangan yang berbeda selain kursi yang angkuh merengkuh dingin dengan pasrah.
     “Terowongan, nak”. Ujar perempuan paruh baya yang duduk tepat di kursi depanku kepada gadis cilik di sampingnya.
    “Mana, Ma?”. Gadis cilik yang sedari tadi disibukkan oleh hasratnya untuk tertawa bersama kawan-kawannya itu berceletuk, dengan terengah-engah, ia mengalihkan rasa gembiranya pada sebuah rasa keingintahuan yang lain dalam otaknya. Sembari mendekati ibunya dan meliuk-liuk wajahnya menuju keluar jendela, ia memberi stimulus kilat terhadap pelukan ibunya. 
    Anak-anak yang lincah dan sehat senantiasa didambakan oleh para ibu, sosok yang tak pernah enggan memeluk anak-anaknya dalam keadaan segetir dan terburuk sekalipun. Kupandangi gelagat mereka, sejenak melamurkan dingin yang menggigilkanku sedari tadi. Sejenak aku merasa hangat melihat potret keabadian cinta ibu dan anaknya. Terkadang aku merasa cemburu, apa yang ada di benakku? Ahh..
    “Sebentar lagi”. Jawabnya sembari tersenyum gemas. Ternyata lampu-lampu kereta, hadir untuk melipur kegelapan selama terowongan melahap kereta. Gadis cilik tadi dileburkan oleh kegembiraan dalam kepalanya.
     “Ma.. Mama.. Nanti keretanya dimakan terowongan ya? Gimana sih ma terowongan itu?”.
    “Terowongan itu gelap, panjang, dan sempit”.
    “Ada apa di sana, Ma?”.
    “Tidak ada siapa-siapa. Gelap, kotor, dan hanya ada hewan-hewan kecil”. Mimik gadis kecil itu sedikit tertoreh pada ketakutan, kikuk, dan gemetar. Tetap saja, Meski pemaparan ibunya sedikit melontar ketakutan pada gadis kecil tadi, dalam kepalanya tetap berkeinginan dan bersuka ria menanti terowongan.
     “Terowongan.. Yee yee yee, kita lewat terowongan”. Ah, anak kecil itu menggemaskan, aku senyum-senyum sendiri, dibuat tingkahnya yang gemulai ketika menari-nari menguliti kegembiraannya. Bukan hanya gadis kecil di depanku tadi, seluruh anak-anak dalam gerbong pertama, meriung perdu dengan sorak gembiranya akan hadirnya terowongan.
    “Terowongan!”. Seru kanak-kanak serentak ketika kereta terlahap terowongan. Mereka bergidik. 
    “Hiiii gelap!”. Sebagian kanak-kanak juga gadis kecil di hadapanku tadi memeluk ibu mereka, namun lucunya ia tetap menoleh ke luar jendela menyambut gelapnya. Dadanya terangkat tegang, juga napas berurutan senduk. Matanya membulat, disertai lentik mata yang lugu. Maklum saja, anak kecil takut akan kegelapan. Bukan hanya anak kecil, aku pun sering tercemooh dengan ketakutanku sendiri.
     Lampu-lampu kereta kini hanya pelaku sampingan atas perenggut kantukku, sebab kini pelaku utamanya ialah terowongan. Semahir itu, kegelapan merampas cahaya, atau kegelapan memang terpaksa hadir lantaran enggan menampung cahaya?
     Sejauh kumelewati perjalanan panjang di kereta ini, terowonganlah paling membuatku sesak, yang hanya mampu meninggalkan gulita. Yakni kenangan yang menggagalkan segala jiwa-jiwa yang sekuat tenaga kutumbuhkan sejak lama.
    “Tidak ada lagi kegelapan paling sudah, selain hati yang enggan lagi menangkap cahaya”.
    Aku menepis keringat yang telah bercampur dengan air mata, beberapa bulan setelah ucapanmu itu, aku meng-iya-kan perjodohan kita, setelah melewati pergumulan yang makin tak waras. Alasan ibu dan bapa tidak terlalu meyakinkan, awalnya, dari bermacam perhitungan adat beserta nasabnya, kemudian ayah dan ibu yang tak sanggup menanggung borok utang. Kemudian ingin puterinya bahagia?
     “Apa maksudmu?”
    “Kau hanya kurang terbuka… selalu menutup diri dan hatimu untuk seseorang yang baru”. Kau memang tak banyak bicara dan lugu, aku hanya sering berpikir, masih banyak perempuan yang mau denganmu dibanding aku yang tidak mencintaimu.
    Sebelum kata setuju, ada banyak yang kupertimbangkan daripada apa yang dipertimbangkan ibu dan bapa. Apa jadinya bila dari perhitungan adat malah menyalahgunakan agama? Aku tak mau lagi dalam kegelapan. Sebelum mengenal agama memang begitu, semua terasa gelap, tak tau arah, jika Tuhan memberiku tugas untuk mempergunakan pisau dengan tangan kananku, pilihannya hanya untuk menghilangkan onak duri yang merintang, dan onak duri itu ada dalam diriku. Entah di mana letaknya.
     “Kau selalu begitu…” Napasmu menghempas geram. Kau lalu bangkit dari sofa rumahmu sambil mondar-mandir dengan mata kokoh namun kosong, mengepulkan gumpalan-gumpalan putih asap rok*k dari mulut dan hidungmu, ah aku benci asap itu! Aku tau, keluargamu memang tidak begitu memikirkan agama, begitupun kau, begitupun aku sebelumnya, kau pun produk kegagalan, tapi aku tak mau mendapati kekata itu menuju ke arahku. Aku ingin memulai lebih baik.
     Sebelumnyapun aku sempat berpikir untuk pergi menjauh dari mereka; kau, ibu, bapa, orangtuamu, mencari nafkah sendiri dengan segala kekuatanku. Namun, perempuan seusiaku, kepala tiga tetap membutuhkan lelaki untuk menafkahi, apalagi kini putriku yang berusia dua tahun dan banyak memerlukan perhatian khusus.
    “Memangnya apa yang kau inginkan dariku?”
     Setelah tujuh bulan kami menikah, hidup kami sejahtera, musim panen, permintaan bawang merah setinggi harga jualnya, dan modal yang tak begitu rentan tersaingi oleh tingkat penawaran pasar. Memang benar, roda itu berputar, semenjak menikah dengan suamiku yang dulu, semua serba ngadat, makan, pakaian, kebutuhan lain, segalanya seolah menjadi kanibal sepanjang rantai kehidupanku. Termasuk mantan suamiku, menghilang entah di mana setelah beralasan melalang buana untuk menafkahiku.
     Kau pun begitu enggan mengalihkan perhatian anakku dari ayah kandungnya. Hanya sekali, pagi-pagi setelah pernikahan kita, perjuangan yang telah kau kumpulkan untuk menggendong anakku, hasil akhirnya, tulang hidungmu harus disambung lewat jalan operasi medis. 
    Sewajarnya, untuk anak-anak pengidap autis, berkomunikasi tidak semudah dengan anak-anak umumnya, dibilang terlalu lamban, memang ia sangat lamban dalam berkomunikasi dua arah, tapi begitu ia menangkap rangsang, keaktifannya semakin menjadi-jadi, orang bilang, anakku gila, kenapa tidak aku saja yang mereka sebut gila? Setelah ia pergi meninggalkanku, dan cinta yang kini hadir memforsirku untuk menemukan jiwa yang baru sebagai elan kreatif setelah repertoar drama; hasil konspirasi antara waktu dan Tuhan rilis.
     Walaupun begitu, aku tak pernah malu dengan kondisi anakku, lebih-lebih setelah aku menjadi istrimu, kini anakku terpenuhi untuk melakukan terapi penyembuhan.
     Sebagai juragan bawang merah yang kaya raya, kebutuhan kami memang tercukupi, tetapi penghasilan tak pernah kami tabung, entah. Sirna dalam sekejap, seperti asap rok*kmu yang tertikam udara seketika di ruang tamu itu. Sepulang aku menjenguk Zaa puteriku dari panti tempat ia terapi, siang hari yang terik memaksaku untuk bergegas pulang ke dalam rumah, kepulan asap rok*k sebagai dayang-dayang percakapan kau dan mereka, membubung hingga dari luar pintu. Beberapa orang di sofa dengan jaket kulit berwarna hitam mengkilat beranjak pergi meninggalkan asap rok*k yang meliuk-liuk ke udara dalam ruangan, sengaja aku menghindarinya sebelum akhirnya kulampiaskan keherananku padamu, aku hendak menuju dapur sebentar, sebab kau semakin mencurigakan dan keruh.
     “Siapa tadi, mas?”
    Kau tetap menunduk di tempat kau dan beberapa orang tadi berlibat bicara. Empat putung rok*k yang kau tandas di sela-sela riuh di kepalamu, tak jua melipur nanar nan gusar yang luruh satu persatu, mengalir di lidahmu yang diburu kelu. Setelah bimbang menguliti pikiranku untuk bicara di hadapanmu, aku berusaha memunculkan dialektika untuk mencairkan kelu di lidahmu yang semakin membisu.
    “Zaa.. harus terapi lanjutan, mas. Kondisinya sudah mulai membaik”.
    Matamu masih kosong meski setengah pengertian kau tumpahkan atas ucapanku. “Ya, sepantasnya begitu”. Kau seperti hendak memuntahkan seluruh isi perutmu saja, ironi, berat dan terbata-bata. Kening dan matamu ingin pecah saja, tertekan dan menegang.

    Seperti terpelanting ke jurang keliaran imaji paling dalam, dan malah menangkarkan riuh yang berpendar di dalammu. Kita memang tak selalu berkomunikasi, entah aku yang tak sepenuhnya mencintai, atau kau yang memang sosok naif yang paling hebat, atau terkadang kau yang mengasingkan diri dariku dan anakku.
    Asbak kaca di atas meja ukir di hadapan kami tersungkur hancur oleh kibasan tanganmu yang masih tercekat putung rok*k. Kau juga. Tergeletak kejang, dinding-dinding ketakutan, termasuk aku.

    “Tidak, ada apa dengan suamiku? Apa aku begitu menyinggungnya?” Aku menangis seketika, tergopoh-gopoh melipur kalap yang menyerangmu.
    Pigura, vas bunga, berantakan. Isak dan teriakanmu tak mampu terbendung oleh dinding dan pintu yang berdiri tegak dan perat. Wajah pucat pasi dan tubuh yang terkulai lemah membiusku untuk sedikit menyadari, aku hanya ingin hidup tanpa jiwa yang gagal, harus kusengajakan jiwa yang baru untuk membangun ruh kehidupan, tanpa harus merasa gagal. Meski bagaimanapun, aku sudah menjadikanmu sebagai suami sah, dan memiliki kewajiban mencintai. Ya, seharusnya begitu. Sebaiknya memang aku harus melupakan yang menyakitkan sebelum yang mengindahkan berubah menyakitkan pula.

    Seperti biasanya, pagi-pagi sekali kau ke sawah, aku tetap di rumah sebagaimana tugas istri, dan menengok Zaa. Sepulangku menengok Zaa, tetangga tak seperti biasanya berhambur di halaman rumahku dengan dinginnya setara dengan cuaca kereta ini, beberapa kotak berwarna cokelat yang dibungkus berisi bubuk jahannam, jarum suntik, botol-botol kaca seangkuh kursi-kursi yang terbujur kaku dalam kereta ini, bersama beberapa orang berpakaian seragam cokelat dengan mobil bergaris kuning, apalagi? Dan suamiku yang digiring mereka keluar dari pintu rumah dengan besi yang mengikat dua pergelangan tangan di balik badannya. Bangunan yang kusebut sebagai rumah dikelilingi anekdot baru, garis polisi.

    Zaa berteriak hebat dan semakin karam tertusuk jeritanku.

    Aku tetap jiwa yang gagal(*).

    No comments

    ada

    ada

    Post Bottom Ad

    ad728
    PT. Prosumbar Media Group, Mengucapkan: Selamat datang di www.sumbarraya.com, Terima kasih telah berkunjung.. Semoga anda senang! Tertanda Pemred: Nov Wibawa