Gugat UU Pemilu, Yusril Ihza Mahendra Mengaku Pencalonannya Sebagai Capres Terhambat PT-20 Persen
Yusril Ihza Mahendra dan istri.
SUMBAR RAYA.COM
- - - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra memastikan akan
secepatnya mendaftarkan uji materi UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi
(MK).
Namun, Yusril mengaku harus menunggu UU untuk Pemilu 2019 itu resmi disahkan dan diberlakukan. "Kalau pengesahan RUU ini selesai pekan depan, maka pekan depan ini juga pendaftaran permohonannya saya lakukan," kata Yusril dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 23 Juli 2017.
Ketua umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu mengaku akan fokus menguji pasal-pasal tentang presidential threshold. Dia memastikan akan mendaftarkan gugatan menggunakan namanya sendiri karena merasa punya legal standing untuk mengajukan juducial review UU Pemilu di MK.
"Karena partai saya, PBB, telah memutuskan untuk mendukung saya maju ke pencalonan presiden tahun 2019 nanti," ujar Yusril.
Namun, Yusril mengaku harus menunggu UU untuk Pemilu 2019 itu resmi disahkan dan diberlakukan. "Kalau pengesahan RUU ini selesai pekan depan, maka pekan depan ini juga pendaftaran permohonannya saya lakukan," kata Yusril dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 23 Juli 2017.
Ketua umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu mengaku akan fokus menguji pasal-pasal tentang presidential threshold. Dia memastikan akan mendaftarkan gugatan menggunakan namanya sendiri karena merasa punya legal standing untuk mengajukan juducial review UU Pemilu di MK.
"Karena partai saya, PBB, telah memutuskan untuk mendukung saya maju ke pencalonan presiden tahun 2019 nanti," ujar Yusril.
Dia
menambahkan, langkahnya menjadi calon presiden akan terhambat dengan
adanya ketentuan presidential threshold berupa 20 persen kursi DPR atau
25 persen suara sah nasional hasil Pemilu Legislatif 2014. Yusril
menyebut ketentuan itu tidak hanya menghambatnya, tapi juga Prabowo
Subianto yang menjadi calon presiden dari Gerindra ataupun Agus
Harimurti Yudhoyono yang potensial dicalonkan oleh Partai Demokrat.
Menurut Yusril, presidential threshold seperti itu tampaknya didesain untuk memunculkan Joko Widido sebagai calon tunggal pada Pilpres 2019. Sebab, Jokowi akan diusung PDIP, Golkar, PPP, Nasdem, Hanura dan kemungkinan PAN.
Sementara dukungan terhap Prabowo Subianto yang didukung oleh Gerindra dan PKS yang kemungkinan besar tidak akan mencapai angka 20 persen jumla kursi DPR.
Begitu juga Partai Demokrat sendirian juga akan sulit mendapatkan threshold 20 persen. "PBB tentu akan lebih sulit lagi dibanding partai-partai yang lain," tegasnya.
Angka 20 persen mungkin dapat dicapai apabila Demokrat, Gerindra dan PKS bergabung. Namun, dari pengalaman selama ini hampir mustahil SBY akan bergabung dengan Gerindra mendukung Prabowo Subianto.
Jadi, tegasnya, presidential threshold 20 persen memang harus dilawan untuk menghindari munculnya calon tunggal Joko Widodo. Calon tunggal seperti itu bukan saja tidak baik bagi bagi perkembangan demokrasi, tetapi juga akan menimbulkan persoalan konstitusionalitas.
"UUD 45 pasca amandemen nampaknya mengisyaratkan pasangan calon presiden/wakil presiden lebih dari sepasang," kata mantan menteri sekretaris negara itu. (by/jpnn)
Menurut Yusril, presidential threshold seperti itu tampaknya didesain untuk memunculkan Joko Widido sebagai calon tunggal pada Pilpres 2019. Sebab, Jokowi akan diusung PDIP, Golkar, PPP, Nasdem, Hanura dan kemungkinan PAN.
Sementara dukungan terhap Prabowo Subianto yang didukung oleh Gerindra dan PKS yang kemungkinan besar tidak akan mencapai angka 20 persen jumla kursi DPR.
Begitu juga Partai Demokrat sendirian juga akan sulit mendapatkan threshold 20 persen. "PBB tentu akan lebih sulit lagi dibanding partai-partai yang lain," tegasnya.
Angka 20 persen mungkin dapat dicapai apabila Demokrat, Gerindra dan PKS bergabung. Namun, dari pengalaman selama ini hampir mustahil SBY akan bergabung dengan Gerindra mendukung Prabowo Subianto.
Jadi, tegasnya, presidential threshold 20 persen memang harus dilawan untuk menghindari munculnya calon tunggal Joko Widodo. Calon tunggal seperti itu bukan saja tidak baik bagi bagi perkembangan demokrasi, tetapi juga akan menimbulkan persoalan konstitusionalitas.
"UUD 45 pasca amandemen nampaknya mengisyaratkan pasangan calon presiden/wakil presiden lebih dari sepasang," kata mantan menteri sekretaris negara itu. (by/jpnn)
No comments