• Breaking News

    Advertisement

    loading...

    Soal Fatwa Haram Politik Uang, Kongres Rakyat Nasional Bersuara Lantang


    SUMBARRAYA.COM, - - - 

    Salah satu materi perdebatan kelompok pro sistem terbuka dan pro sistem tertutup menjelang Pemilu 2024 adalah liberalisasi demokrasi.

    "Pro sistem tertutup menuduh sistem terbuka menyuburkan terjadinya praktik politik uang secara massif melibatkan masyarakat," ungkap Sutrisno Pangaribuan, Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) melalui keterangan tertulisnya kepada BentengSumbar.com, Kamis, 15 Juni 2023.

    Sebaliknya pro terbuka menuduh pro tertutup ingin membuat praktik politik uang eksklusif, hanya bagi segelintir orang elit Parpol. 

    "Keinginan memenangkan kontestasi memaksa kontestan menggunakan politik uang dalam memengaruhi hasil Pemilu," tegas Sutrisno Pangaribuan.

    Sementara pihak lain, akan mengaku kalah sebab kurang uang atau "peluru". Akibatnya, para kontestan akan sibuk memamerkan isi tas daripada kapasitas. 

    "Akhirnya, pertarungan antara ide, gagasan, dan program politik tidak menarik dalam Pemilu," kata Sutrisno Pangaribuan.

    Pengaruh politik uang ternyata tidak hanya mengalir ke pemilih, namun juga ke oknum penyelenggara dan pengawas Pemilu. 

    "Selain itu, oknum penyelenggara pemerintahan juga tidak mau ketinggalan," cakap Sutrisno Pangaribuan.

    Mereka juga ikut bermain, baik dari tingkat desa/ kelurahan, kecamatan hingga tingkat pusat. 

    "Sehingga para peserta Pemilu selalu akan mencari cara "berteman" dengan oknum penyelenggara dan pengawas Pemilu serta oknum penyelenggara pemerintahan di semua tingkatan," tukuk Sutrisno Pangaribuan.

    Keberadaan Bawaslu RI secara berjenjang dari tingkat pusat hinga TPS, baik permanen, maupun adhoc sejatinya dirancang dan dibentuk untuk mengawasi Pemilu. 

    "Ternyata lembaga negara ini juga tidak sepenuhnya berdaya menghadapi "serangan fajar"," cakap Sutrisno Pangaribuan.

    Menurutnya, praktik politik uang sangat terbuka, dilakukan melalui tokoh formal dan non formal di masyarakat. 

    "Menjelang Pemilu, baik Pileg, Pilpres, Pilkada, hingga Pilkades, akan ada akan ada gerakan pengumpulan data pemilih oleh tim sukses," ungkapnya Sutrisno Pangaribuan.

    Data pemilih tersebut akan ditukar dengan uang, baik lunas maupun bertahap. 

    Begitu juga dalam lembaga yang harusnya mengawasi, malah terdapat oknum yang justru terlibat dalam praktik politik uang. 

    Tidak sedikit oknum penyelenggara dan pengawas Pemilu yang berakhir disidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). 

    “Kewenangan penindakan yang lemah turut menjadi kambing hitam massifnya politik uang. Penindakan menjadi kewenangan sentara penegakan hukum terpadu ( Gakkumdu). Sementara Gakkumdu baru akan bergerak setelah adanya pengaduan," ujarnya.

    Partai politik ( Parpol ) seharusnya menjadi satu-satunya pihak yang paling bertanggung jawab atas "massifnya politik uang”.

    "Karena pelaku, baik caleg, capres/ cawapres, dan cakada/ cawakada adalah bagian dari Parpol," kata Sutrisno Pangaribuan.

    Namun alih-alih mengaku bersalah, Parpol justru menuduh rakyat penyebab dan penerima manfaatnya.

    "Hingga saat ini, tidak ada satu Parpol pun yang berani secara terbuka, mengaku bersalah dan meminta maaf kepada Indonesia," ujar Sutrisno Pangaribuan.

    Parpol malah sibuk berlomba, mengubah atau mempertahankan sistem Pemilu. 

    Praktik politik uang sesungguhnya sama berbahayanya dengan politik identitas. 

    "Politisasi suku, agama, ras, dan antar golongan ( SARA) serta eksploitasi ikatan- ikatan primordial lainnya merendahkan harkat dan martabat manusia," pungkas Sutrisno Pangaribuan.

    Demikian juga dengan praktik suap untuk memengaruhi hasil Pemilu, baik kepada oknum penyelenggara, pengawas dan pemilih, adalah tindakan buruk terhadap manusia merdeka. 

    "Para pelakunya seharusnya dapat dijerat dengan tuduhan pelanggaran HAM," tegas Sutrisno Pangaribuan.

    Sebab adanya upaya sistematis memengaruhi hasil Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil seharusnya masuk kategori pelanggaran HAM. 

    Ulama Keluarkan Fatwa Haram

    Jika negara melalui pemerintah dan alat negara, beserta penyelenggara, dan pengawas Pemilu tidak berdaya menghadapinya, maka ulama dan pemimpin agama harus turun tangan.

    Menurut Sutrisno Pangaribuan, ulama dan pemimpin agama harus menjadi suluh penerang bagi kegelapan praktik politik uang. 

    Maka Kongres Rakyat Nasional ( Kornas ) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:

    Pertama, bahwa saatnya kita menyatakan perang terhadap musuh utama demokrasi, yakni politik identitas, politik uang, serta politik eksploitasi SARA dan ikatan- ikatan primordial yang merusak kualitas Pemilu Indonesia. 

    Kedua, bahwa sebagai lembaga penjaga moral bangsa, ulama dan pemimpin agama MUI, PBNU, PP Muhammadiyah, PGI, KWI, PHDI, WALUBI, MATAKIN dan perwakilan penganut aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diminta segera menerbitkan "fatwa haram" dan larangan pemberian dan penerimaan uang dalam Pemilu.

    Ketiga, bahwa ulama dan pemimpin agama diminta juga untuk menerbitkan "fatwa haram" bagi Parpol, calon perseorangan, pasangan calon presiden / wakil presiden, kepala/ wakil kepala daerah untuk dipilih. Pelaku politik uang harus mendapat sanksi moral, haram untuk dipilih. 

    Kornas meyakini, penerbitan fatwa haram dari ulama dan pemimpin agama, akan membantu kita memperbaiki kualitas Pemilu. Jika pelaku kejahatan Pemilu tidak takut penjara, mereka masih mungkin takut tidak masuk surga.

     (*)

    No comments

    ada

    ada

    Post Bottom Ad

    ad728
    PT. Prosumbar Media Group, Mengucapkan: Selamat datang di www.sumbarraya.com, Terima kasih telah berkunjung.. Semoga anda senang! Tertanda Pemred: Nov Wibawa